Lulusan SM ITB 2021, Korban Kebijakan Kontroversial

Nabiel Irawan
4 min readJun 30, 2021
gambar kiri : utas provokatif, gambar tengah dan kanan (menyambung) : “permintaan maaf” dari calon lulusan SM ITB 2021

Para pendaftar SM ITB 2021 tentunya memiliki harapan untuk bisa lolos seleksi dan menjadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Banyak yang dikorbankan, seperti waktu, tenaga, bahkan material untuk bisa menjadi mahasiswa ITB.

Kebijakan rektorat, terutama dua tahun ke belakang ini, tidak jarang kontroversial. Mulai dari seleksi mandiri (SM ITB), uang kuliah tunggal (UKT), izin masuk kampus selama pandemi, dan puluhan lainnya. Tak jarang pula dikritik walau sering tidak membuahkan hasil. Kebijakan SM ITB 2021 yang keluar pada awal Maret 2021 mungkin salah satu yang paling kontroversial. Mereka yang lolos SM ITB 2021 akan langsung mendapatkan jurusan, berbeda dengan lulusan SNMPTN dan SBMPTN 2021 yang masih harus “bersaing” di TPB untuk mendapatkan program studi. Kajian, propaganda, dan pernyataan sikap yang dilancarkan Kabinet KM ITB sejak April — Mei lalu yang bahkan sampai melakukan aksi karangan bunga di monumen kubus tidak sedikitpun dihiraukan oleh rektorat. Mereka seakan buta dan tuli terhadap aspirasi mahasiswanya sendiri.

Kegagalan rektorat untuk peka terhadap mahasiswanya membuat Massa KM ITB akhirnya hanya bisa meledeki dan membuat meme tentang kebijakan ini. Tidak jarang ledekan dan sindiran yang dibuat, baik sengaja maupun tidak, menyinggung para calon mahasiswa ITB 2021 jalur SM ITB. Tak terkecuali twit yang direply oleh twit @itbfess ini. Twit yang dibuat terkesan menyudutkan para calon mahasiswa jalur SM ITB, seakan mereka mendapat keuntungan karena langsung masuk jurusan dan tidak perlu “bersaing” di TPB. Realitanya? Belum tentu. Pengirim menfess ini salah satunya.

Separah itukah ledekan yang dibuat oleh yang-katanya-“putra-putri terbaik bangsa di Institut Terbaik Bangsa” ini sampai mereka para calon mahasiswa perlu meminta maaf atas kesalahan yang bahkan tidak mereka buat? Lagipula, apakah para calon mahasiswa ini punya pilihan? Haruskah mereka terus-menerus dibuat merasa bersalah atas kebijakan yang dibuat oleh rektorat? Sudah mana gagal di SNMPTN dan SBMPTN, perlu membayar lebih mahal di jalur mandiri, masih perlu lagi dibully oleh kakak-kakak tingkat mereka sendiri?

Adanya mereka yang malah meledek para lulusan SM ITB 2021 ini mengimplikasikan dua hal: Satu, gagalnya Massa KM ITB untuk bisa berpikir kritis. Dua, lancarnya rektorat dalam pengambilan kebijakan. Mahasiswanya malah dibuat bertengkar sendiri ketimbang bersatu melawan rektorat. Jika kita terus-terusan seperti ini, rektorat akan semakin nyaman untuk mengambil kebijakan kontroversial ke depannya. Mahasiswanya akan ribut sendiri juga dan tidak bersatu untuk mengkritik rektorat. Para lulusan SM ITB juga harus menanggung rasa bersalah yang tidak seharusnya.

Sebagai mahasiswa, seharusnya kita mencoba melihat dari dua sisi; tidak langsung menyalahkan satu pihak. Posisi mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan adalah mahasiswa bisa membuat kajian, pernyataan sikap, dan propaganda (yang sudah dilakukan oleh KM ITB) untuk menanggapi kebijakan kontroversial ini. Mahasiswa ITB sendiri lah yang paham mengenai lingkungan ITB, sehingga mereka bisa paham bagaimana kebijakan ini akan memengaruhi lingkungan ITB dan lingkungan sekitar ITB ke depannya. Bersama dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki, mahasiswa dapat terus menerus memberikan masukan kepada rektorat untuk kebijakan ke depannya.

Potensi mahasiswa sangat besar, tidak menutup kemungkinan bagi salah satu dari mahasiswa yang menolak kebijakan rektorat ini akan menjadi stakeholder rektorat/MWA ITB di masa depan. Maka, ketika para mahasiswa ini betul-betul menjadi pemegang kebijakan di kampus, diharapkan mereka dapat membuat kebijakan yang lebih matang dan mempertimbangkan berbagai aspek terutama masukan dari mahasiswa. Mahasiswa-mahasiswa ini juga diharapkan dapat menjadi pemimpin negara, sehingga diharapkan pula mereka dapat memajukan terus pendidikan di Indonesia; tidak hanya dari sisi kurikulum, tetapi juga teknis masuk perguruan tinggi.

Idealnya, masyarakat bisa sama-sama mengkritisi kebijakan rektorat ini. Tetapi, dengan disprupsi gelombang informasi era globalisasi modern ini, manusia sudah memiliki banyak sekali yang harus diurus. Sehingga, mahasiswa dapat berperan sebagai pemercepat terkumpulnya aspirasi masyarakat yang peduli, seperti orang tua calon mahasiswa; pemercepat advokasi isu, dan pemercepat diselesaikannya isu ini. Selain itu, mahasiswa juga bisa membantu membimbing para lulusan SM ITB 2021 agar bisa menjadi lebih baik ke depannya. Mahasiswa bisa membimbing para lulusan SM ITB 2021 agar mereka tidak menjadi bahan olokan lagi oleh pihak-pihak lainnya. Mahasiswa bisa terus melawan kebijakan yang merugikan mahasiswa ketimbang saling bertengkar.

Dengan dipaparkannya PoPoPe di atas, jelas terlihat bahwa mahasiswa khususnya mahasiswa ITB masih belum bisa menjalankan PoPoPe secara seutuhnya. Dengan kata lain, mahasiswa ITB masih belum menjadi “mahasiswa seutuhnya”. Saya sendiri sangat menyayangkan adanya represi terhadap mereka yang bahkan belum menjadi mahasiswa. Mahasiswa ITB seharusnya bisa lebih baik dari ini. Tapi, tak apa lah, namanya juga mahasiswa, masih terus belajar dan belajar. Semoga mahasiswa bisa semakin baik ke depannya.

Salam Pembebasan!

#PoPoPeMahasiswa #KATITB2021

(dimodifikasi dari utas yang dipublikasikan akun twitter @_majalahganesha yang juga ditulis oleh Nabiel Irawan pada tanggal 29 Juni 2021)

--

--

Nabiel Irawan

Tempat mencurahkan isi otak dan hati seorang self-transendence // An Engineering Student trying his best on writing