Mengapa Saya (hampir) Siap Mati Kapanpun

Nabiel Irawan
3 min readSep 4, 2022

Saya bersyukur orang tua saya selalu berkata, “bermanfaatlah untuk orang lain”. Dengan kata-kata tersebut pula saya dibesarkan dan membesarkan diri sendiri.

Sejak zaman sekolah, yang tertanam di pikiran saya adalah bagaimana cara saya bisa berdampak kepada orang lain. Semakin saya dewasa, hal tersebut kurang lebih mendarah daging.

Pada umur saya yang kedua puluh ini, saya sudah mendedikasikan hidup saya sepenuhnya untuk keberdampakan. Hampir semua hal yang saya lakukan, saya lakukan untuk memberikan dampak positif kepada lingkungan saya. Saya rela mengorbankan banyak hal demi bisa membawa perubahan untuk sesuatu menjadi lebih baik.

Namun, nampaknya, saya juga manusia.

Saya juga membutuhkan kasih sayang dan tempat berpulang. Saya juga membutuhkan istirahat dan waktu luang. Saya juga membutuhkan tempat bercerita dan berkeluh kesah.

Sayangnya, saya, sejak dulu, tidak pernah mendapatkan hal tersebut.

Dan saya memvonis diri saya untuk tidak akan berhak pernah mendapatkannya, karena saya tidak pernah berhak menyediakannya.

Sudah banyak sekali perjalanan yang saya lalui. Kebanyakan perjalanan tersebut gagal, berakibat negatif kepada saya dan orang lain. Saya tidak dapat mendedikasikan diri saya kepada seseorang atau suatu tempat. Saya tidak dapat memberikan hati saya kecuali kepada keberdampakan.

Dan saya akan mati dalam idealisme saya, digerogoti oleh pemikiran keberdampakan tersebut. Dan saya akan hidup dalam kesendirian, dengan idealisme saya.

Alasan saya untuk terus hidup sampai saat ini adalah usaha memberikan keberdampakan, setiap harinya. Jika keberdampakan tersebut gagal atau harapan tersebut sirna, maka alasan saya hidup juga hilang.

Saya memaksa melanjutkan hidup jika hidup saya dapat bermanfaat bagi orang lain.

Dan saya hampir siap jika saya mati satu jam lagi. Dan saya hampir siap jika saya mati satu hari lagi. Dan saya hampir siap jika saya mati minggu depan.

Hidup seperti ini tidaklah mengenakkan, kalau boleh jujur. Saya ingin hidup normal, memiliki tempat berpulang, dapat bersenang-senang. Namun, sepertinya saya dikutuk untuk terlahir seperti ini. Namun pula, saya bersyukur untuk dikutuk seperti ini.

Hidup seperti orang biasa itu mengasyikkan, bukan? Memiliki tempat berpulang, dapat memberikan hati sepenuhnya kepada seseorang, dan dapat hidup dalam ketenangan. Namun tidak dengan saya. Saya hidup dalam ketakutan bahwa saya tidak bisa berdampak kepada orang lain.

Berapa kali saya mengutuk diri saya sendiri sebab saya merasa gagal memberikan dampak positif kepada sekitar? Tidak terhitung. Justru saya senang karena dorongan untuk terus memberikan dampak positif inilah yang membuat saya terkadang merasa sangat hidup, karena sejatinya hidup saya adalah untuk orang banyak, bukan untuk diri saya sendiri.

Hal itu pula yang membuat saya selalu berusaha memaksimalkan setiap hari, setiap kesempatan, dan setiap saat yang tersisa di hidup saya. Saya ingin memberikan sebanyak-banyaknya dampak kepada orang lain dan menghabiskan kemampuan saya untuk berdampak. Sehingga, jika saya mati besok, saya tidak akan menyesal karena saya sudah berusaha maksimal setiap harinya, setiap waktunya, setiap kesempatannya.

Mati muda sepertinya menyenangkan. Saya tidak perlu menunggu keriput dan terbata-bata, tidak perlu menunggu sakit berkepanjangan dan melihat orang-orang terdekat mati terlebih dahulu. Mati muda akan terasa indah dan cepat, sebab hidup akan lebih mudah dimaknai.

Dan saya tahu saya naif sekali berbicara seperti ini.

Satu-satunya hal yang saya takutkan jika saya mati besok adalah mimpi-mimpi saya tidak dilanjutkan oleh orang lain.

Oleh karena itu, kalian yang membaca tulisanku, lanjutkanlah mimpi-mimpiku jika aku mati besok.

Semoga, jika saya memang mati besok, apa yang sudah saya perbuat selama ini benar-benar memberikan dampak.

--

--

Nabiel Irawan

Tempat mencurahkan isi otak dan hati seorang self-transendence // An Engineering Student trying his best on writing